BURANGA,Matabuton.com– Komisaris Polisi Purnawirawan Ahali, S.H., M.H., yang juga pernah menjabat sebagai wakil Bupati Buton Utara, menyoroti praktik korupsi yang masih merajalela di berbagai lini pemerintahan.
Dalam sebuah tulisan opininya, Ahali mengupas secara tajam bagaimana bentuk tindak pidana korupsi, terutama dalam ranah penggelapan yang dilakukan oleh aparatur negara.
Menurutnya, Pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, secara tegas menyebutkan bahwa seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, atau menghilangkan barang yang dipercayakan kepadanya sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan, dapat dipidana penjara hingga tujuh tahun.
“Dari sini, rumusan singkatnya adalah, apabila barang yang berada dalam kekuasaan pejabat negara hilang atau rusak tanpa pertanggungjawaban, maka kuat dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi,” ungkap Ahali.
Ia melukiskan korupsi sebagai anai-anai yang diam-diam menghancurkan struktur bangsa dari dalam. “Korupsi itu kejam dan sadis. Ia menggerogoti fondasi perekonomian, merusak tatanan sosial, dan menimbulkan kemiskinan,” tegasnya.
Lebih jauh, Ahali menilai korupsi terjadi karena bertemunya niat dan kesempatan, yang sering kali muncul dari kewenangan yang disalahgunakan. Ironisnya, praktik korupsi justru terjadi terang-terangan di depan publik, namun tak ada reaksi berarti.
“Masyarakat cenderung apatis. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa ketika seseorang punya uang, teman dan saudara pun berdatangan. Tapi ketika tak punya apa-apa, bahkan keluarga pun menjauh,” ujar Ahali.
Dalam opininya, ia juga mengkritisi para aktivis antikorupsi yang mulai bungkam.
“Dulu mereka lantang bersuara, kini hanya menyuarakan peluru hampa yang tak pernah mengenai sasaran. Di kampung, kami menyebutnya ‘handa-handa’,” katanya.
Ahali pun menyinggung perilaku munafik segelintir lembaga yang mengusung slogan pemberantasan korupsi, padahal ikut bermain dalam praktik haram tersebut.
“Mereka terlihat gagah dengan simbol-simbol pemberantasan korupsi, tapi tangan dan kakinya ikut bermain di dalam lingkaran. Inilah warisan penjajah yang masih melekat—suka menindas bangsanya sendiri,” ujarnya dengan nada prihatin.
Mengutip tokoh hukum asal Filipina, Dr. Salvador Laured, Ahali menambahkan: “Anda memperlihatkan langit kepadaku, tapi bagi manusia kecil hanya mampu merangkak terseok-seok.” Bagi Ahali, ini mencerminkan kenyataan bahwa integritas hanya menjadi retorika di hadapan rakyat kecil, sementara para penguasa justru mempertontonkan kesewenang-wenangan.
Di akhir opininya, ia mengaku sering merenung, “Dari mana dan oleh siapa sebenarnya pemberantasan korupsi ini harus dimulai?” tanyanya retoris.
“Maaf bila opini ini ada yang tidak berkenan, tapi inilah suara keprihatinan kami atas kondisi bangsa yang terus digerogoti oleh para pengkhianat amanah rakyat,” tutupnya.